Langsung ke konten utama

Mengulik Kasus Diskriminasi Indonesia Sepanjang 2020

Isu mengenai SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) masih saja menjadi topik hangat untuk dibicarakan. Apalagi  Indonesia adalah negara dengan penduduk yang berlatar belakang heterogen. Ketika membahas tentang SARA, harus hati-hati, sebab pemaknaannya bisa menjadi bias. Impact dari berbedanya SARA tentu saja memiliki dua makna, positif dan negatif. Positifnya adalah keberagaman itu sendiri. Negatifnya adalah intoleransi dan diskriminasi.

Minoritas dan mayoritas, lawan kata yang sebenarnya tak pantas disebut sebagai perbandingan. Karena yang satu memiliki sifat super power atau superior, dan yang satunya lagi menjadi inferior. Tentu saja, antar golongan di masyarakat meski mencakup status minoritas dan mayoritas, tapi hal itu akan terasa baik-baik saja bila semua masyarakat Indonesia mengamalkan dan menghayati Pancasila.

Sila pertama hingga sila kelima, terasa sangat komplit dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keterlibatan rasa toleransi akan menghasilkan perdamaian. Seperti kata Johan Galtung bahwa selain konflik, perdamaian itu harus tanpa kekerasan.

Kementrian agama mengeluarkan indeks kerukunan sebagai tolak ukur seberapa besar tingkat kerukunan di Indonesia pada tahun 2019. Hasilnya tergolong tinggi, 73%. Dengan tiga indikator yaitu toleransi (72%), kesetaraan (73%), dan kerjasama (75%). Ini merupakan peningkatan sebesar 2% dari tahun sebelumnya.

Faktor-faktor signifikan lainnya yang mempengaruhi ketiga indikator tadi antara lain  pendidikan, keluarga, implementasi, kearifan lokal, pendapatan, heteronitas agama dan peran kementerian agama.

Awal mula kekerasan berawal dari rasa intoleran dan diskriminasi. Dari dulu sejak Indonesia merdeka hingga sekarang tentu saja sudah banyak terjadi kasus diskriminasi dengan beragam cerita. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indonesia Indicator per Januari hingga Agustus, tercatat ada 18 kasus diskriminasi yang terjadi di Indonesia selama tahun 2020, khususnya terhadap penyandang disabilitas, agama, dan gender.

10 kasus diskriminasi terjadi berbasis agama (56%), 6 kasus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas (33%), dan dua lainnya (11%) berbasis gender. Kasus-kasus tersebut terjadi pada 17 kabupaten/kota di 10 provinsi.

Terlepas dari angka di atas, bisa jadi kasus diskriminasi terjadi lebih banyak dari yang terliput oleh pemberitaan media massa.

Dari 18 kasus diskriminasi, 5 di antaranya berhasil menyita banyak perhatian publik pada 2020, kelimanya pun berbasis agama. Tak heran karena persaingan akan eksistensi antar agama akan masih ada, tak dipungkiri pula karena tiap agama memiliki misi masing-masing.

Kasus diskriminasi agama pertama, yaitu pengrusakan Mushala Al Hidayah di Minahasa Utara yang dilakukan oleh sejumlah oknum. Kerap dijadikan sebagai balai pertemuan umat muslim, bangunan tersebut belum mengantongi surat izin bangunan sebagai tempat beribadah. Pengrusakan yang dilakukan oknum tersebut terlihat seperti sebuah upaya untuk menghalangi proses atau ritual beribadah suatu agama. Sehingga kasus ini diangkat menjadi isu diskriminasi hangat di awal tahun, yaitu 30 Januari 2020.

Kemudian, kasus yang menjadi sorotan publik adalah penolakan renovasi Gereja Paroki Santoph Joseph di Karimun. Dilansir dari hasil penyelidikan Tempo.co, pada 6 Februari 2020 ada lima polisi yang datang dan meminta agar renovasi dihentikan, alasannya untuk keamanan. Beberapa jam setelahnya massa mulai mengerubungi gereja, mencaci maki dan menggoncang-goncang pagar gereja. Lagi-lagi diskriminasi berbasis agama yang dilakukan oleh masyarakat setempat yang intoleran, sangat konservatif.

Selain dari penduduk setempat, bahkan ada dari pemerintah daerah yang justru secara resmi melakukan tindak diskriminasi. Yaitu penyegelan makam tokoh adat Sunda Wiwitan oleh Bupati Kuningan melalui Satpol PP pada 20 Juli 2020. Banyak koalisi yang terbentuk untuk memprotes penyegelan ini karena dinilai sebagai tindakan inkonstitutional, serta terkesan tidak menghargai kepercayaan atau keyakinan penghayat Sunda Wiwitan.

Ada lagi diskriminasi yang dilakukan pemerintah daerah. Penyegelan masjid Al-Furqan oleh pemerintah kabupaten di Sukabumi pada 20 Februari 2020. Berdasarkan pemberitaan Tirto.id, ini bukan pertamakalinya, penyegelan juga terjadi pada tahun 2016, bahkan penyerangan dan pembakaran yang dilakukan sejumlah oknum pada masjid Al-Furqan ini sempat terjadi tahun 2008 silam, sejak saat itu muslim Ahmadiyah (yang menjadi jamaah masjid Al-Furqan) hidup dalam ketakutan. Buntutnya adalah penyegelan lagi di tahun 2020 dengan alasan menjaga konduksivitas. Bahkan, Kapolsek, kepala desa, dan aparat pemerintah lainnya juga melarang dan memberhentikan renovasi.

Kasus diskriminasi yang ramai diperbincangkan juga terjadi di Solo, Surakarta. Tindak kekerasan dan penyerangan ini dilakukan oleh sekelompok orang pada upacara Midodareni, Midodareni merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan. Sekelompok orang tersebut melakukan penyerangan, merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga yang melakukan upacara Midodareni, sembari meneriakan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal.

Penyerangan, pengrusakan, dan diskriminasi yang terjadi di atas bukanlah tanpa sebab. Masih tertutupnya mental sosial masyarakat yang konservatif di Indonesia serta rendahnya rasa toleransi akan perbedaan atau heterogenitas.

Selain berbasis agama, masih ada bentuk diskriminasi lainnya seperti berbasis gender. Hak-hak para pekerja harus diperhatikan tak  pandang jenis kelamin. Sayangnya, hal ini kerap dialami oleh para pekerja perempuan di salah satu produsen es krim bernama Aice.

Kasus diskriminasinya seperti Elitha yang diancam PHK hanya karena ia perempuan dan meminta pemindahan divisi kerja sebab ia mengidap endometriosis, tidak dapat menggendong beban berat. Perusahaan tidak mengindahkan, Elitha terpaksa lanjut bekerja karena tuntutan ekonomi. Akibatnya ia mengalami pendarahan hebat akibat bobot pekerjaannya dan harus menjalani operasi pengangkatan jaringan rahim.

Kasus diskriminasi gender yang tak kalah membuat publik geram adalah saat seorang transpuan bernama Mira dianiaya dan dibakar hidup-hidup karena tertuduh sebagai pencuri. Perbuatan keji ini dilakukan oleh sekelompok massa. Mirisnya, kasus ini tidak dianggap sebagai pembunuhan, melainkan hanya perbuatan yang tidak disengaja.

Terlihat begitu rendahnya harga nyawa seseorang. Meskipun ia seorang transpuan, transgender, lesbian, gay, ataupun lainnya, mereka tetaplah manusia yang memiliki hak. Apalagi mereka sama sekali tidak menganggu. Namun, para transpuan  memang memiliki kerentanan mengalami diskriminasi. Ini disebabkan oleh stigma dan sentimen transfobik, yaitu anti terhadap transgender.

Bentuk rendahnya toleransi beberapa golongan masyarakat bahkan bisa membuat para penyandang disabilitas turut menjadi korban diskirminatif. Seperti yang terjadi di Bandung, pengusiran 41 orang penyandang disabilitas dari Balai Wyata Guna. Kemudian ada pembatalan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) jalur disabilitas oleh BPK Sumatera Barat, serta para penyandang disabilitas di beberapa panti di Jakarta diberi fasilitas dan tempat tinggal yang tak layak.

Diskriminasi yang terjadi sepanjang tahun 2020 ini memiliki satu kesamaan, bahwasanya masyarakat Indonesia masih alergi terhadap perbedaan agama, antar golongan, dan suku. Ada perasaan tidak suka bila agama atau golongan lain berkembang, dan merasa terancam bila ada agama atau golongan lain yang eksistensinya lebih kuat. Seolah-olah isu agama terlalu mudah disangkut-pautkan dengan ekonomi, sosial, dan politik. Padahal, tidak ada satu pun agama yang menganjurkan konflik. Pasti setiap agama memilki ikhtiar dalam mewujudkan perdamaian.

Lalu kita mesti apa? Kita harus bisa open minded, tidak hanya iya-iya saja menerima segala informasi yang bahkan mengandung hoax, hatespeech, dan provokasi, tapi juga bisa mendengarkan cara pandang orang lain, mengevaluasi point of view tersebut lalu menilainya secara fair. Di sinilah pentingnya bertoleransi.

Dalam menebarkan sifat-sifat toleransi, sudah banyak metode dan media yang bisa digunakan. Pemuda sebagai agent of change, sebagai generasi penerus harus memiliki keberanian dalam menebar kebaikan dan mengkampanyekan pentingnya toleransi di Indonesia, menghargai segala perbedaan, dan bersikap kritis dalam menanggapi problematika konflik.

Komentar